Laporan Farkol FIX

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI UJI EFEK SEDASI DAN HIPNOTIK PHENOBARBITAL-Na (LARUTAN 5%) PADA MENCIT JANTAN (MUS MUSCUL

Views 175 Downloads 11 File size 1MB

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

Recommend stories

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

UJI EFEK SEDASI DAN HIPNOTIK PHENOBARBITAL-Na (LARUTAN 5%) PADA MENCIT JANTAN (MUS MUSCULUS) SECARA INTRAPERITONEAL

ASISTEN: ANGELICA KRESNAMURTI, M. Farm., Apt

PENANGGUNG JAWAB: GOLONGAN Y / KELOMPOK 1 ROTUA MARTA ULINA

(2443013173)

CHRISTIAN FARANDY

(2443013206)

SONDHA TABITA

(2443013242)

INOSENSIA

(2443013272)

LIBERTI N. TULIMAU

(2443013277)

YUNESRI G. TUNGGA

(2443013306)

PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2016

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum Sedatif Hipnotik

1.2 Tujuan praktikum 1.2.1 Mampu membedakan efek obat sedatif dan hipnotik pada hewan coba 1.2.2 Mampu

mengetahui dan

mengamati tanda-tanda overdosis golongan obat

barbiturat 1.2.3 Mampu mengetahui berbagai instrumen yang dapat digunakan untuk menguji efek sedatif

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Penggolongan Obat Hipnotik merupakan obat yang dapat menginduksi tidur dan mempertahankan tidur

seperti tidur pada umumnya. Sedatif hipnotik merupakan golongan dari obat yang sebagian besar digunakan pada pengobatan klinis. Sedasi pada umumnya memiliki efek samping menekan kemampuan sistem saraf pusat. Sedasi hipnotik sebagian besar digunakan pada pengobatan klinis sebagai pengobatan insomnia, sedasi, obat penenang, obat relaksasi otot dan sebagainya. Obat sedatif hipnotik dapat menimbulkan tingkatan dari penurunan fungsi sistem saraf pusat seperti sedasi, hipnotik, tidak sadar, koma, penurunan fatal fungsi pernapasan, kematian (Kumar dan Palatty, 2013). Obat sedasi hipnotik merupakan obat yang bekerja pada sistem saraf pusat. Obat sedasi hipnotik dibagi menjadi beberapa golongan besar (Gambar 2.1).

Obat CNS

Obat Sedasi Hipnotik

Benzodiazepin

Clorazepate, Diazepam, Estazolam, Flurazepam, Lorazepam, Midazolam, dan lainnya

Benzodiazepin Antagonis

Flumazenil

Barbiturat

Amobarbital, Pentobarbital, Phenobarbital, Secobarbital, Thiopental

Obat Penenang Lainnya

Antidepressants, Buspirone

Agen Hipnotik Lainnya

Antihistamines, Zaleplon, Zolpidem, dan lainnya

Gambar 2.1 Klasifikasi obat sedatif hipnotik (Harvey, 2012) Barbiturat merupakan salah satu golongan obat yang memiliki efek sedasi hipnotik. Golongan barbiturat terbilang lebih aman dibanding golongan benzodiazepin. Pada penggunaan oral absorbsi golongan barbiturat hampir sempurna dan distribusinya cukup luas.

Sebelum diekskresi oleh ginjal hampir semua barbiturat mengalami metabolisme sempurna atau konjugasi dalam hati. Barbiturat dapat menyebabkan penurunan fungsi pernapasan pada dosis tinggi, dibandingkan benzodiazepin yang memiliki efek minimal pada pernapasan, denyut jantung dan tekanan darah. Mekanisme barbiturat adalah dengan mengikat reseptor barbiturat pada reseptor GABA dan meningkatkan durasi pembukaan saluran klorida (Kumar dan Palatty, 2013). Salah satu obat golongan barbiturat adalah Phenobarbital. Aksi Phenobarbital merupakan aksi diperpanjang dan depresan non selektif dari sistem saraf pusat dengan kemampuan memproduksi semua level dari perubahan ekspresi sistem saraf pusat dari eksitasi hingga sedasi, hipnosis, dan koma dalam. Phenobarbital dapat menginduksi anestesi jika diberikan dalam dosis terapi tinggi (Cheke dkk., 2015). Chlordiazepoxid dan diazepam merupakan benzodiazepin yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960, menggantikan golongan barbiturat dari obat sedatif hipnotik. Semua efek benzodiazepin didasarkan dari aksinya pada reseptor spesifik pada CNS, termasuk efek sedasi, hipnosis, amnesia, mengurangi kecemasan, relaksasi otot, dan aktifitas antikonvfulsan. Hampir semua golongan benzodiazepin diabsorbsi sempurna pada penggunaan oral dan banyak terikat pada protein plasma. Benzodiazepin lebih aman dibandingkan barbiturat dalam hal pengurangan fungsi pernapasan, jantung dan tekanan darah dan juga terdapat antidot yang efektif flemazenil, pada kasus keracunan (Kumar dan Palatty, 2013). Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan benzodiazepin dengan dosis terapinya (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Obat-obat golongan benzodiazepine dengan dosis terapinya (Tjay dan Kirana, 2007)

2.2 Farmakokinetika Golongan Barbiturat (ADME) Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorpsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan, dan dihambat oleh adanya makanan di dalam lambung. Secara IV barbiturat

digunakan

untuk

mengatasi

status

epilepsi,

dan

menginduksi

serta

mempertahankan anastesia umum (Ganiswarna dkk., 1995). Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutannya dalam lemak; tiopental yang terbesar, terikat hingga lebih dari 65%. Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan penurunan kadarnya dalam plasma dan otak secara cepat. Setelah depot lemak jenuh, masa kerja barbiturat pada pemberian selanjutnya baru mencerminkan inaktivasi yang terjadi lambat. Pemulihan setelah pemberian barbiturat kerja sangat singkat memerlukan waktu lama, barbiturat yang tertimbun dalam depot lemak perlahan-lahan dilepaskan kembali setelah anastesia berakhir (Ganiswarna dkk., 1995). Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobabital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna di dalam hati sebelum diekskresi lewat ginjal. Oksidasi gugus pada atom C-5 merupakan metabolisme yang paling utama dan yang menghentikan aktivitas biologisnya. Oksidasi tersebut menyebabkan terbentuknya alkohol, keton, fenol atau asam karboksilat, yang diekskresi dalam urin sebagai zat tersebut atau konjugatnya dengan asam glukuronat. N-glukosilasi merupakan jalur metabolisme yang penting. Jalur metabolisme lainnya meliputi N-hidroksilasi, desulfurasi (tiobarbiturat menjadi oksibarbiturat), pembukaan cincin asam barbiturat, dan N-dealkilasi (mefobarbital menjadi fenobarbital). Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi ke dalam urin dalam bentuk utuh. Ekskresinya dapat ditingkatkan dengan diuresis osmotik dan/atau alkalisasi urin (Ganiswarna dkk., 1995). Hubungan antara lama kerja dan waktu paruh eliminasi cukup rumit. Antara lain karena enansiomer barbiturat yang optik aktif memiliki potensi dan kecepatan biotransformasi yang berbeda. Di samping itu penetapan kadar barbiturat dalam darah yang baku tidak dapat membedakan diantara enansiomernya. Biasanya makin aktif enansiomer makin cepat metabolismenya. Eliminasi obat lebih cepat berlangsung pada yang berusia dewasa muda daripada yang tua dan anak-anak. Waktu paruh meningkat selama kehamilan dan pada penyakit hati kronik, terutama sirosis. Penggunaan berulang, terutama fenobarbital, mempersingkat waktu paruh akibat induksi enzim mikrosomal (Ganiswarna dkk., 1995).

Barbiturat yang digunakan sebagai hipnotik dan sedatif tidak memiliki waktu paruh yang cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam 24 jam. Jadi semua barbiturat akan diakumulasi selama pemberian ulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis yang cermat. Selain itu, menetapnya obat dalam plasma sepanjang hari mempermudah terjadinya toleransi dan penyalahgunaan (Ganiswarna dkk., 1995).

2.3 Struktur Golongan Barbiturat dan Phenobarbital Barbiturat terdiri dari 2,4,6- trioxohexahydropyrimidine dan gugus alkil atau aril pada posisi 5, dimana merupakan pusat

aksi sedatif hipnotik (Kumar dan Palatty, 2013).

Phenobarbital merupakan derifat asam barbiturat dengan ikatan gugus etil pada rantai karbon 5a dan phenyl pada rantai karbon 5b. Fenobarbital ini bila digunakan sebagai obat hipnotiksedatif, diberikan secra oral (Wiria, 2007). Phenobarbital-Na memiliki rumus kimia natrium 5-etil-5-fenilbarbiturat [57-30-7] (Departemen Kesehatan RI, 2014).

Gambar 2.3 Struktur Barbiturat (Ganiswarna dkk., 1995)

Gambar 2.4

Struktur kimia Phenobarbital (Departemen Kesehatan RI, 2014)

2.4 Farmakodinamika Obat Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anastesi, koma, sampai dengan kematian. Efek antiansietas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Fase tidur REM dipersingkat. Efek anestesia umum diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital setelah pemberian IV. Efek antikonvulsi yang selektif terutama diberikan oleh barbiturat yang mengandung substitusi 5fenil misalnya fenobarbital dan mefobarbital. Golongan barbiturat lain, derajat selektivitas dan indeks terapi antikolvusinya sangat rendah, jadi tidak mungkin dicapai efek yang diinginkan tanpa menimbulkan depresi umum pada SSP (Ganiswarna dkk., 1995). Barbiturat tidak dapat mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pemberian dosis barbiturat yang hamoir menyebabkan tidur dapat meningkatkan 20% ambang nyeri, sedangkan ambang rasa lainnya (rasa, vibrasi, dan sebagainya) tidak dipengaruhi. Pada beberapa individu dan dalam keadaan tertentu, misalnya ada rasa nyeri, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Ganiswarna dkk., 1995). Toleransi terhadap barbiturat dapat terjadi secara farmakodinamik maupun farmakologi. Toleransi farmakodinamik lebih berperan dalam penurunan efek dan berlangsung lebih lama dari pada toleransi farmakokinetik. Toleransi terhadap efek sedasi dan hipnosis terjadi lebih segera dan lebih kuat dari pada efek antikonvulsi. Penderita yang toleran terhadap barbiturat juga toleran terhadap senyawa yang mendepresi SSP, seperti alkohol. Bahkan dapat juga toleransi silang terhadap senyawa dengan efek farmakologi yang berbeda seperti opioid dan fensiklidin. Toleransi terhadap benzodiazepin hanya terjadi terhadap efek hipnotik dan antiansietas tetapi tidak terhadap efek relaksasi otot. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek sedasi pada eksitasi dan ihibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai

kerja benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi

bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menyebabkan depresi SSP yang berat (Ganiswarna dkk., 1995). Pada pernapasan barbiturat menyebabkan depresi napas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernapasan, sedangkan dosis hipnotik oral menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo napas, ventilasi alveol sedikit berkurang. Sesuai dengan keadaan tidur fisiologis, pemberian oral

dosis barbiturat yang sangat tinggi atau suntikan IV yang terlalu cepat menyebabkan depresi napas lebih berat (Ganiswarna dkk., 1995). Pada sistem kardiovaskular, pada dosis oral sedatif atau hipnotik barbiturat tidak memberikan efek yang nyata terhadap sistem kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun, seperti terjadi dalam keadaan fisiologis. Pemberian barbiturat dosis terapi IV secara cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak, meskipun hanya selintas. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi napas. Selain itu, dosis tinggi barbiturat menyebab depresi vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga hipotensi. Barbiturat dosis sangat tinggi berpengaruh langsung terhadap kapiler sehingga menyebabkan syok kardiovaskular (Ganiswarna dkk., 1995). Efek barbiturat terhadap hati yang paling dikenal ialah efeknya terhadap sistem metabolisme obat di mikroskom. Barbiturat bersama-sama dengan sitokrom P450 secara kompetitif mempengaruhi biotransformasi obat serta zat endogen dalam tubuh., misalnya hormon steroid; sebaliknya beberapa senyawa dapat menghambat biotransformasi barbiturat. Interaksi obat tersebut bahkan dapat terjadi pada barbiturat dan senyawa lain yang dioksidasikan lewat sistem enzim mikrosomal yang berbeda. Pemberian barbiturat secara kronik menaikan jumlah protein dan lemak pada retikulum endoplasmik hati serta, menaikan aktivitas glukoroni; transferase dan enzim oksidase sitokrom

P450. Induksi enzim ini

menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan senyawa endogen termasuk hormon steroid, kolesterol, garam empedu, vitamin K dan D. Toleransi terhadap barbiturat antara lain disebabkan karena butirat merangsang aktivitas enzim yang merusak barbiturat sendiri. Efek induksi ini tidak sebatas hanya pada enzim mikrosomal yaitu δ-Amino Levulanic Acid (ALA) sintesa, dan enzim sitoplasma yaitu aldehid dehidrogenasi. Barbiturat mengganggu sintesis porfirin, pada pasien porfiria, obat ini dapat menimbulkan serangan mendadak yang sangat membahayakan (Ganiswarna dkk., 1995).

2.5 Efek Samping Obat dan Toksisitas Obat 2.5.1 Efek samping barbiturat Hangover, gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemebrian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang-kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah hebat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (teruama fenobarbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi daripada depresi. Idiosinkrasi ini relatif umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah (Ganiswarna dkk., 1995). Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, nerualgia, antrargia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi dan bahkan delirium. Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipesensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital; kadan-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati (Ganiswarna dkk., 1995). Selain itu Phenobarbital juga memberikan dampak negatif pada anak-anak kejang demam dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang melakukan terapi menggunakan obat

ini, seperti penurunan IQ, hiperaktifitas, mudah marah, kemampuan

berkonsentrasi rendah, iritabel, agresif, perubahan perilaku yang signifikan (Fadila dkk., 2014).

2.5.2 Mekanisme toksisitas barbiturat Barbiturat terikat dengan sisi spesifik dari asam γ-aminobutyric (GABA)-saluran ion spesifik pada sistem saraf pusat. Dengan mengikat sisi ini, barbiturat membiarkan masuknya klorida ke dalam membran sel dan, kemudian, hiperpolarisasi post sinaps neuron. GABA merupakan inhibitor neurotransmiter mayor pada sistem saraf pusat. Barbiturat meningkatkan GABA-mediasi klorida dengan berikatan pada GABA-A reseptor ionofor komplek dan meningkatkan durasi pembukaan ionofor. Pada dosis tinggi, barbiturat menstimulasi reseptor GABA-A secara langsung pada saat tidak adanya GABA. Barbiturat juga memblok reseptor glutamat pada sistem saraf

pusat (SSP). SSP sangat sensitif terhadap efek barbiturat;

meskipun, dapat menimbulkan keracunan, sistem kardiovaskular dan fungsi perifer lainnya juga mengalami penurunan (Malarkey dan Maronpot, 2005).

Dosis 8 mg/kgBB atau lebih besar Phenobarbital akan menunjukkan gejala keracunan. Overdosis akan memproduksi penurunan fungsi sistem saraf pusat dari mengantuk hingga koma dalam dengan menahan electroencephalogram. Dilaporkan dari pasien yang mencapai rekoveri neurologikal lengkap setelah mendapatkan isoelektrik electroencephalogram untuk beberapa hari. Oleh karena itu, sangat penting untuk taat terhadap level obat pada pasien sebelum adanya pernyataan kematian otak. Pasien yang mengalami over dosis dengan barbiturat aksi diperpanjang mungkin mengalami koma untuk beberapa hari. Penurunan fungsi saluran pencernaan dapat menyebabkan ileus. Konsentrasi barbiturat plasma membantu pada saat diagnosis dan membantu

dalam menetapkan metode yang digunakan untuk

meningkatkan eliminasi. Konsentrasi barbiturat plasma tidak akurat untuk memperkirakan durasi atau tingkat keparahan dari keracunan (Malarkey dan Maronpot, 2005).

2.6 Indikasi Klinis Obat Phenobarbital Dosis obat golongan sedatif hipnotik yang digunakan secara hati-hati dan disesuaikan dengan indikasi. Ketidakhati-hatian dalam pemilihan dosis dapat menyebabkan

toksisitas

hingga kematian. Tabel 2.1 menunjukkan dosis yang digunakan berdasarkan indikasi yang diinginkan. Tabel 2.1 Indikasi dan dosis obat Phenobarbital (ISO 45, 2011) No.

Indikasi

Usia

Dosis (per hari)

Rute

100-325 mg, Dewasa 1.

dapat ditingkatkan

IV

hingga 600 mg

Antikonvulsi Anak-anak dan

15-20 mg/kg BB

IV

Neonatus 30-120 mg, 2.

Sedatif

Dewasa

dosis terbagi 2-3

IV/IM

kali 130-200 mg, 6-9 3.

Preoperasi

Dewasa

menit sebelum operasi

IM

1-3 mg/kg, 6-9 Anak

menit sebelum

IV/IM

operasi 100-325 mg, sesudah 4.

Insomnia

Dewasa

diencerkan 1:10 dan diberikan

IM/IV

tidak lebih dari 100 mg/menit 5.

Epilepsi

-

6.

Eklamsia

-

7.

Parkinson

-

100 mg, 1-3x sehari 1 tablet 100 mg, 1-3x sehari 1 tablet 100 mg, 1-3x sehari 1 tablet

PO

PO

PO

2.7 Daftar Nama Dagang Obat yang Beredar dan Industri Pembuatnya Berikut merupakan daftar nama dagang obat Phenobarbital dan industri pembuatnya: 1. Sibital® – Mersi Farma 2. Bellapheen® – Soho 3. Piptal Paediatric® – Nicholas 4. Ditalin® – Otto (ISO 45, 2011)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1

Jenis Obat Obat sedatif hipnotik

3.2

3.3

Pemberian Dosis Obat Phenobarbital pada Mencit Konsentrasi

: 5% ( 50 mg/1 ml )

Rute Pemberian

: Per oral

Mencit

: 50 gr

Dosis A

: 50 mg/70kgBB

Volume A

: 0.25ml/20gBB

Dosis B

: 100 mg/70kgBB

Volume B

: 0.5ml/20gBB

Bahan Penginduksi Fenobarbital – Na ( larutan 5% )

3.4

Klasifikasi Mencit Klasifikasi mencit adalah sebagai berikut: Kerajaan

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub filum

: Vertebrata

Kelas

: Mammali

Anak kelas

: Theria

Bangsa

: Rodentia

Sub bangsa

: Myomorpha

Suku

: Muridae

Anak suku

: Murinae

Marga

: Mus

Jenis

: Mus musculus (Ballenger, 1999)

Mencit yang digunakan untuk praktikum ini adalah galur Swiss webster. Mencit liar dan mencit laboratorium merupakan hewan semarga. Mencit laboratorium merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif. Mencit telah dianggap dewasa setelah berumur 35 hari dengan bobot 20-30 g. Mencit yang digunakan adalah mencit jantan karena tidak dipengaruhi hormon esterogen. Pemilihan mencit sebagai hewan coba didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu harga yang relatif murah, ukurannya yang kecil dan dasar fisiologinya yang dekat dengan manusia. Kualitas makanan dan faktor lingkungan hidup dapat mempengaruhi kemampuan mencit untuk tumbuh, berbiak, dan atau reaksi terhadap pengobatan. Cara pemberian obat pada mencit, dapat secara oral (melalui mulut), subkutan (di bawah kulit), intramuskuler (ke dalam otot), Intravena (ke dalam vena), dan intraperitoneal (ke dalam rongga perut) (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

3.5

Alat-alat yang Digunakan 1.

Rotarod Alat berupa rod horisontal yang berotasi dengan kecepatan 20 putaran per menit.

Mencit yang dapat bertahan pada rod diatas

180 detik yang akan dipilih dan di

masukkan dalam grup terpilih. Grup yang terpilih diberikan induksi obat sedatif. Mencit diletakkan di atas rod dan catat waktu jatuh mencit dari atas rod (Moniruzzaman dkk., 2015).

2.

Evation Box Menggunakan metode dari Turner (1965), hewan coba diperkenalkan pada kotak

bujur sangkar dengan kedudukan miring dan mencit dibiarkan keluar dalam waktu 5 menit.

3.

Hole Board Alat berupa platform berukuran 60 cm x 30cm dengan 16 lubang yang berjarak.

Setelah pemberian obat-obat sedatif hipnotik, hewan coba dibiarkan bergerak bebas pada platform dan jumlah kepala yang masuk kedalam lubang dihitung selama 5 menit (Moniruzzaman dkk., 2015).

4.

Platform Alat ini digunakan untuk melakukan pengamatan terhadap tingkah laku mencit di

atas Platform. Efek sedatif ditunjukkan dengan malas bergerak (jarang menjengukjengukkan kepala keluar dari Platform) dan mencit cenderung tidak peduli dengan kondisi eksternal seperti misalnya bunyi-bunyian (Hadinoto dkk., 2001).

3.6

Skema kerja praktikum

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Penelitian Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Kelompok

I

Perlakuan

II

III

IV

V

D50mg/

D50mg/

D100mg/

D100mg/

70 KgBB

70 KgBB

70 KgBB

(Per Oral)

Kontrol

70 KgBB

Rotarod

I. 1457

I. 249

(detik)

II. 845

II. 847

III. 580

III. 407

Rata-rata

Hole Board (5 menit) Rata-rata Evation Box (5 menit)

Rata-rata

961 detik

501 detik

I. 46 II. 22

I. 7 -

II. 2 III. 5

-

5 detik

I. 83 -

II. 55

I. 27 -

II. 29

III. 12

III. 48

III. 17

27 kali

62 kali

24 kali

I. 0.30

I. 1.55

I. 4.28

II. 0.46

-

III. 2.47 1 menit 21 detik

II. 2.50

-

III. 0.40 -

1 menit 48 detik

II. 2.46 III. 4.59

-

Diameter

Ukuran

41 cm,

32,4 cm,

Platform

tinggi 47

tinggi 44

cm

cm

Sikap

Sikap

Sikap

tubuh +;

tubuh +;

tubuh +;

je-

jengukan

ngukan

17 kali;

19 kali;

25 kali;

napas 21

napas 18

Platform

Diameter

5 min

-

4 menit 4 detik

Diameter 41 -

cm, tinggi

-

47 cm

-

jengukan

-

napas 25

kali/10

kali/10

kali/10

detik;

detik;

detik;

aktivitas

aktivitas

aktivitas

grooming,

grooming,

groom-

buang air

tegang,

ing,

kecil, ekor

gelisah,

buang air

berdiri,

buang air

kecil,

menjilat

kecil, meng-

cengukan

perut, diam

garuk

, jalanjalan Sikap tubuh +; je-

10 min

Sikap

ngukan

Sikap

tubuh +;

30 kali;

tubuh +;

jengukan 3

napas 23

jengukan

kali; napas

kali/10

0 kali;

18 kali/10

detik;

napas 26

aktivitas

kali/10

aktivitas

berdiri-

detik;

gelisah,

berdiri,

aktivitas

buang air

diam,

tidur

kecil, meng-

-

cengukan

detik;

-

garuk, BAB

, jalanjalan

15 min

Sikap

Sikap

Sikap

tubuh +;

tubuh +;

tubuh +;

je-

jengukan

jengukan

ngukan

0 kali;

11 kali;

napas 29

napas 20

napas 24

kali/10

kali/10

kali/10

detik;

detik;

-

16 kali;

-

detik;

aktivitas

aktivitas

aktivitas

tidur

gelisah,

berdiri,

meng-gigit

cengukan

paku, meng-

, jalan-

garuk

jalan Sikap tubuh +; jengukan

20 min

Sikap

0 kali;

tubuh +;

napas 23

Sikap

je-

kali/10

tubuh +;

ngukan

detik;

jengukan 2

41 kali;

aktivitas

kali; napas

napas 21

menit ke 16

33kali/10

kali/10

detik 53

detik;

detik;

mulai

aktivitas

bergerak,

gelisah,

BAB,

ekor berdiri

berdiri,

jalan-

tegak,

meng-

jalan,

buang air

garuk,

jengukan

kecil, menit

mengigit-

, garuk

17 detik 30

gigit

mulut

ekor turun, menggaruk, meng-endus

4.2

Analisis Perhitungan Data

-

aktivitas

-

-

4.3

Pembahasan

4.3.1 Pembahasan hasil praktikum Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui efek dari obat sedatif hipnotik terhadap perilaku, kemampuan, dan aktifitas mencit yang telah diinduksi obat sedatif hipnotik. Pada praktikum ini digunakan obat dari golongan barbiturat yaitu Phenobarbital. Untuk mengetahui efek tersebut dilakukan pengujian dengan menggunakan beberapa alat yaitu Rotarod, Evation Box, Hole Board dan Platform. Rotarod digunakan untuk mengevaluasi koordinasi motorik atau efek relaksasi otot pada mencit (Moniruzzaman dkk., 2015). Evation Box diperlukan untuk mengetahui keseimbangan sistem koordinasi mencit dalam perjalanannya menuju puncak, semakin cepat tergelincir artinya adanya gangguan pada keseimbangn sistem koordinasi pada otak mencit. Hole Board digunakan untuk mengetahui kesadaran otak untuk melakukan eksplorasi terhadap sesuatu yang mencurigakan atau membahayakan dalam hal ini lubang pada Hole Board. Platform digunakan untuk mengamati aktifitas mencit selama durasi yang telah ditentukan, aktifitas mencit tersebut dapat menunjukkan kerja obat Phenobarbital dalam tubuh mencit. Pada pengujian dengan alat Rotarod, didapatkan hasil rata-rata antara kelompok 1 (kontrol), kelompok 2 (50ml/70kgBB), kelompok 4 (100ml/70kgBB) yaitu 961, 501, 5. Grafik hasil uji Rotarod dapat dilihat pada Grafik 4.1.

Uji Rotarod Jumlah Putaran Sebelum Mencit Jatuh

961

501

Kontrol

50ml/70kgBB

5 100ml/70kgBB

DOSIS OBAT PHENOBARBITAL

Grafik 4.1 Hasil Uji Rotarod

Berdasarkan data tersebut, terjadi penurunan jumlah putaran atau waktu yang dibutuhkan mencit untuk jatuh lebih cepat apabila dosis obat phenobarbital dinaikkan. Jatuhnya mencit disebabkan akibat efek sedasi yang terjadi karena menurunnya efektifitas motorik akibat proses depresi pada sistem saraf pusat (Anggara, 2009). Mencit dengan induksi Phenobarbital 100ml/70kgBB memberikan efek sedasi hipnotik paling cepat yaitu rata-rata dalam 5 detik. Pada pemberian dosis 50ml/70kgBB terlihat pada percobaan I, percobaan II, percobaan III waktu yang dibutuhkan mencit hingga jatuh dari rotor berturutturut 249 detik, 847 detik, 407 detik. Hal tersebut dikarenkan obat belum mencapai efek sedasi dan apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol hasil yang ditunjukkan tidak berbeda bermakna. Pengujian efek sedatif menggunakan alat Hole Board dilakukan oleh kelompok 1 (kontrol), kelompok 3 (50ml/70kgBB), dan kelompok 5 (100ml/70kgBB). Berdasarkan praktikum diperoleh hasil rata-rata jumlah jengukan dalam 5 menit pada perlakuan kontrol, induksi Phenobarbital dosis 50ml/70kgB, induksi Phenobarbital 100ml/70 kgBB yaitu 27, 62, 24 (Grafik 4.2).

Uji Hole Board Jumlah Jengukan ke Lubang 62

27

Kontrol

24

50ml/70kgBB

100ml/70kgBB

DOSIS OBAT PHENOBARBITAL

Grafik 4.2 Hasil Uji Hole Board Jumlah jengukan paling besar terjadi pada pemberian dosis 50ml/70kgBB yaitu 62. Telah dikatakan bahwa depresi sistem saraf pusat menyebabkan penurunan efektifitas motorik sehingga rasa ingin tahu mencit melakukan jengukan berkurang. Semakin besar dosis yang diberikan maka rasa ingin tahu mencit berkurang sehingga jumlah jengukan yang dihasilkan semakin berkurang. Tingginya jumlah jengukan pada dosis 50ml/70kgBB yang seharusnya

lebih rendah dari kontrol dikarenakan timbulnya eksitasi pada mencit sehingga mencit menjadi gelisah dan lebih aktif. Eksitasi mungkin terjadi karena adanya depresi pada pusat penghambatan (Ganiswarna dkk., 1995). Perlakuan selanjutnya dilakukan uji dengan menggunakan alat Evation Box yang bertujuan untuk mengetahui lama watu yang diperlukan mencit untuk mencapai puncak. Semakin besar dosis yang diperlukan maka waktu yang dibutuhkan mencit untuk mencapai puncak semakin besar. Perlakuan ini dilakukan oleh kelompok 1 (kontrol), kelompok 3 (50ml/70kgBB), dan kelompok 5 (100ml/70kgBB). Berdasarkan praktikum waktu yang dibutuhkan mencit kelompok 1 (kontrol), kelompok 3 (50ml/70kgBB), dan kelompok 5 (100ml/70kgBB) untuk mencapai puncak Evation Box adalah 81 detik, 108 detik, dan 244 detik (Grafik 4.3).

Uji Evation Box Lama Waktu Mencapai Puncak (detik) 224

108 81

Kontrol

50ml/70kgBB

100ml/70kgBB

DOSIS OBAT PHENOBARBITAL

Grafik 4.3 Hasil Uji Evation Box Obat sedatif hipnotik menyebabkan depresi sistem saraf pusat dari mencit sehingga mempengaruhi kemampuan mengingat mencit. Mencit pada kelompok 1 (kontrol) memiliki kemampuan mengingat yang baik sehingga mencit hanya membutuhkan waktu 81 detik untuk mencapai puncak Evation Box. Mencit kelompok 3 (50ml/70kgBB) telah mencapai efek sedasi sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan kelompok 1 (kontrol) yaitu 108 detik. Semakin tinggi dosis, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak karena kemampuan mengingat mencit menurun sehingga mencit cenderung berjalan ke arah yang salah dan mencari jalan baru untuk mencapai puncak Evation Box.

Selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan Platform. Pengujian ini dilakukan oleh kelompok 1 (kontrol), kelompok 2 (50ml/70kgBB), kelompok 4 (100ml/70kgBB) dengan waktu pengamatan pada menit ke-5, 10, 15, dan 20. Berdasarkan pengujian ini diperoleh hasil pada Grafik 4.4 dan Grafik 4.5.

Uji Platform (Jumlah Jengukan) 45 41

40 35

30

30

25

25

20

19 17

15

Kontrol 18

Dosis 50ml/70kgBB 16

Dosis 100ml/70kgBB

11

10 5 0 5 Menit

0 10 Menit

0 15 Menit

2 0 20 Menit

Grafik 4.4 Jumlah Jengukan pada Uji Platform

Uji Platform (Jumlah Nafas/10 detik) 35

33

30

29

25

25

20

21 18

26 23 18

24 20

23 21

Kontrol Dosis 50ml/70kgBB

15

Dosis 100ml/70kgBB

10 5 0 5 Menit

10 Menit

15 Menit

20 Menit

Grafik 4.5 Jumlah Napas pada Uji Platform

Berdasarkan hasil praktikum, jumlah jengukan kelompok 2 (50ml/70kgBB) lebih sedikit dibanding jumlah jengukan kelompok 4 (100ml/70kgBB). Pada menit ke-10 mencit kelompok 2 (50ml.70kgBB) menunjukkan aktifitas tidur yang menunjukkan pada dosis 50ml/70kgBB dengan kondisi fisiologis sedemikian mampu menimbulkan efek sedasi pada mencit. Pada menit ke-15 kelompok 1 (kontrol) dan kelompok 2 (50ml/70kgBB) memiliki jumlah jengukan yang jauh lebih rendah dibanding kelompok 4 (100ml/70kgBB). Sedangkan pada menit ke-20 jumlah napas mencit kelompok 4 (100ml/70kgBB) jauh lebih tinggi dibanding kelompok 1 (kontrol) dan kelompok 2 (50ml/70kgBB). Keadaan tersebut disebabkan beberapa individu, dan dalam keadaan tertentu, misalnya ada rasa sakit, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Gunawan dkk., 2007). Teori tersebut didukung dengan aktifitas mencit di atas Platform. Pada kelompok 4 (100ml/70kgBB) terjadi ketegangan dan kegelisahan pada mencit pada menit ke-5 hingga menit ke-20. Kegelisahan sering ditandai dengan jumlah napas dan aktifitas fisik yang meningkat. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampitr tidak berpengaruh terhadap pernapasan, sedangkan dosis hipnotik oral menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo napas, ventilasi alveol sedikit berkurang (Gunawan dkk., 2007). Terlihat pada Grafik 4.5, jumlah pernapasan mencit kelompok 2 (50ml/70kgBB) mengalami penurunan namun tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok 1 (kontrol).

4.3.2 Pembahasan jurnal penelitian Sedatif dan hipnotik merupakan obat yang dapat mengurangi kekawatiran dan menghasilkan efek tenang dengan menginduksi waktu tidur dan mempertahankan durasi tidur. Bagaimanapun penggunaan obat sedatif hipnotik secara terus menerus dapat menimbulkan efek samping serius yang tidak diharapkan seperti gangguan pernapasan, pencernaan, dan tidak berfungsinya sistem imun hingga penurunan fungsi kognitif, ketergantungan fisik, dan toleransi (Moniruzzaman dkk., 2015). Tidak hanya obat sintetis, beberapa tanaman telah diteliti mampu menghasilkan efek sedasi hipnotik diantaranya adalah ekstrak etanol Scoparia dulcis (EESD), ekstrak akar Vetiveria zizanioides dan minyak esensial, ubi bawang putih, dan ekstrak etanol Ipomoea aquatica. Selain itu antioksidan biologi, asam alpha lipoic, dapat mengurangi produksi stress pada penderita epilepsi.

Efek yang ditimbulkan ekstrak etanol Scoparia dulcis (EESD) pada dosis 200mg/kg pada tikus setara dengan pemberian diazepam 1mg/kg. Pengujian efek sedasi dan hipnotik ekstrak etanol Scoparia dulcis (EESD) pada tikus dilakukan menggunakan Hole Cross Test, Open Field Test, Hole-Board Test, dan Rotarod Test. Berdasarkan hasil pengujian disimpulkan bahwa ekstrak etanol Scoparia dulcis (EESD) memiliki efek sedatif hipnotik yang kuat (Moniruzzaman dkk., 2015). Pada ekstrak akar Vetiveria zizanioides pada dosis 150 dan 250 mg/kg meningkatkan durasi tidur total secara signifkan dibandingkan kontrol. Ekstrak akar Vetiveria zizanioides dengan pemberian dosis oral 2ml/kg, menghasilkan efek sedasi hipnotik seperti pada 5mg/kg diazepam pada mencit. Ekstrak akar Vetiveria zizanioides memfasilitasi sistem inhibisi. Durasi tidur total juga meningkat secara signifikan dengan kombinasi antara ekstrak akar Vetiveria zizanioides dan minyak esensial (Rajasekhar dkk., 2014). Sedangkan ekstrak etanol ubi Allium cepa menunjukkan efek kuat sedatif hipnotiknya pada dosis 500mg/kg. Efek sedatif hipnotik pada ekstrak etanol ubi Allium cepa mungkin disebabkan karena adanya flavonoid dan saponin (Rampalli dkk., 2013). Ekstrak etanol Ipomoea aquatica pada dosis 8000mg/kg pada mencit memiliki mula tidur tercepat yaitu 17 menit dan lama tidur terpanjang yaitu 211,5 menit (Setiawan dkk., 2012). Berdasarkan sejumlah ekstrak tanaman yang telah dipaparkan diperoleh bahwa ekstrak etanol Scoparia dulcis (EESD) pada dosis 200mg/kg dan ekstrak akar Vetiveria zizanioides pada dosis kecil, 150 dan 250 mg/kg, dapat meningkatkan durasi tidur total secara signifkan dibanding kedua ekstrak yang lainnya. Barbiturat merupakan golongan obat sedatif hipnotik yang dapat mengakibatkan depresi pernapasan hingga kematian pada dosis tinggi, sedangkan golongan benzodiazepin memiliki efek pada pernapasan, denyut jantung, dan tekanan darah yang minimal (Palatty dan Kumar, 2013). Phenobarbital merupakan obat golongan barbiturat yang paling sering digunakan untuk antiepileptik. Tapi pasien menderita dengan efek samping yang ditimbulkan. Untuk keamanan dan efikasi dari Phenobarbital, perlu diidentifikasi terapi pelengkap untuk meningkatkan efek terapi. Sebuah penelitian ditemukan bahwa asam alpha lipoic dapat berfungsi mengurangi produksi stres pada penderita epilepsi. Selain berpotensi sebagai meningkatkan aktivitas antiepileptik Phenobarbital namun juga mereduksi dosis Phenobarbital sehingga efek samping dapat ditekan (Sawadadkar dkk., 2015). Pada sebagian besar penelitian, peneliti menggunakan golongan benzodiazepin sebagai penginduksi efek sdatif hipnotik contohnya Diazepam. Golongan benzodiazepin lebih aman dibandingkan golongan barbiturat dengan mengurangi efek depresi pernapasan, denyut jantung dan tekanan darah serta memiliki antidot flemazenil yang efektif pada kasus

keracunan (Palatty dan Kumar, 2013). Selain memiliki efek yang minimum, golongan benzodiazepin pada dosis tinggi tidak menimbulkan efek pada level yang lebih tinggi dan akan bertahan pada level anestesi. Golongan barbiturat pada dosis tinggi dapat menimbulkan efek pada level yang lebih tinggi hingga kematian.

4.4

Penyelesaian Tugas

4.4.1 Kurva dosis respon obat golongan minor tranquilizer

Keterangan: A: Peningkatan dosis mendepresi pusat pernapasan dan vasomotor di medula sampai dengan koma hingga mati. Contoh: Barbiturat dan alkohol

(older

sedative-hypnotics) B: Peningkatan dosis mengarah pada keadaan anestesi umum. Contoh: Benzodiazepine dan new drugs

Golongan

Mekanisme Kerja Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABAA, tidak pada GABAB. Reseptor GABAA berperan pada sebagian besar neurotransmiter di SSP. Benzodiazepin berikatan langsung

Benzodiazepin

pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks) sedangkan GABA berikatan pada subunit α dan β. Pengikatan ini menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan peningkatan potensial

elektrik. Berbeda dengan barbiturat, benzodiazepin tidak secara langsung mengaktifkan reseptor GABAA tapi membutuhkan GABA untuk mengekspresikan efeknya (Gunawan dkk., 2007). Barbiturat bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai Barbiturat

mediator. Kapasitas barbiturat

membantu kerja

GABA

sebagian menyerupai kerja benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat sebagai agonis GABAnergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat (Gunawan dkk., 2007). Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak, ini terjadi karena penghambatan atau

Alkohol

penekanan saraf

perangsangan. Data eksperimental

menyokong dugaan mekanisme kerja alkohol di SSP serupa barbiturat (Gunawan dkk., 2007).

4.4.2 Spesifikasi dan ukuran-ukuran Platform untuk mencit 1. Platform dengan diameter 41 cm, dan tinggi 47 cm. 2. Platform dengan diameter 32,4 cm, dan tinggi 44 cm.

4.4.3 Metode pengujian lainnya 1.

Metode Hole Cross Test Eksperimen ini digunakan kandang dengan ukuran 30 x 20 x 14 cm dengan sekat

di tengah yang berlubang dengan diameter 3 cm. Hewan yang di perlakukan dengan obat dan dibiarkan melewati lubang dari chamber satu ke chamber lainnya. Mencit diamati selama 3 menit dan jumlah lintasan dihitung pada menit ke-30, 60, 90, dan 120 (Moniruzzaman dkk., 2015).

2.

Metode Open Field Test Alat bidang terbuka ini terbuat dari bidang kayu dengan luas setengah meter

persegi yang diberi garis kotak-kotak kecil dan diberi warna hitam dan putih. Alat tersebut memiliki dinding setinggi 50 cm dan diletakkan di ruang redup cahaya. Kemudian dihitung jumlah kotak yang dikunjungi mencit selama 3 menit pada menit ke-30, 60, 90, dan 120 setelah pemberian obat (Moniruzzaman dkk., 2015).

4.4.4 Tanda-tanda depresi pernapasan pada dosis 100ml/70kgBB Pada praktikum yang dilakukan, tidak ditunjukkan adanya depresi pernapasan pada dosis 100ml/70kgBB. Obat golongan barbiturat dalam praktikum ini adalah Phenobarbital, justru menimbulkan eksitasi terhadap mencit sehingga timbul kegelisahan dan frekuensi pernapasan justru meningkat (Gunawan dkk., 2007).

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat disimpulkan: 1. Phenobarbital merupakan obat sedatif hipnotik golongan barbiturat yang pada dosis 50ml/70kgBB dapat menimbulkan efek hipnotik. 2. Pada dosis 100ml/70kgBB, obat Phenobarbital dapat menimbulkan eksitasi sehingga menimbulkan kegelisahan pada mencit. 3. Pengujian efek sedatif hipnotik dapat dilakukan menggunakan Rotarot Test, Hole Board Test, Evation Box Test, Platform Test, Hole Cross Test, dan Metode Open Field Test.

5.2 SARAN 1. Mencit yang akan digunakan dalam percobaan sebaiknya dipastikan pada kondisi sehat dan aktif atau telah divalidasi. 2. Mencit dengan perlakuan tertentu yang akan dilakukan beberapa pengujian sebaiknya berasal dari mencit yang sama sehingga diperoleh hasil yang valid. 3. Dilakukan penelitian kombinasi senyawa sintetik ataupun bahan alam dengan obat golongan barbiturat dimana pada dosis tinggi golongan barbiturat mengarah pada keadaan anestesi umum dengan efek samping minimum.

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, R., 2009, Pengaruh Ekstrak Kangkung Darat (Ipomea reptans Poir.) terhadap Efek Sedasi pada Mencit BALB/C, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Balleger,

L., 1999, [Online], http;/www.animaldiversity.Ummz.Umich.Edu/site/accounis/information/musmus culus.html. [2016, Feb10]

Fadila, S., Nadjmir, Rahmatini, Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan Tidak Rutin pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Jurnal Kesehatan Andalas. Ganiswarna, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, dan Nafrialdi, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, dan Elysabeth, 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hadinoto, I., Kuswono, E., Marlina, A., Setiawati, A., 2001, Uji Efek Sedatif dari Minyak Clary Sage (Salivia sclalarea, L) pada Mencit Jantan secara Olfactory Aromatherapi, Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widdya Mandala, Surabaya. Harvey, R., Clark, M.A., dan Finkel, R., 2012, Pharmacology (Lippincott’s Illustrated Reviews Series), 5th ed., Lippincott Williams&Wilkins, Philladelphia. Hirakawa, B., 2005, Cholesterol. Encyclopeddia of Toxicology, 2nd Ed., Elsevier Inc, USA. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2011, Informasi Spesialite Obat Indonesia, Volume 45, Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Katzung, B. G., Masters, S. B., dan Trevor, A. J., 2009, Basic and Clinical Pharmacology, 11th Ed., Mc Graw Hill, China. Malarkey, D.E., Maronpot, R.R., Carcinogenesis, In: Wexler, P., Anderson, B., Peyster, A., Gad, S., Hakkinen, P.J., Kamrin, N.A., Locey, B.J., Mehendale, H., Pope, C., Shugart, L., editors, 2005, Encyclopedia of Toxycology, 2nd Ed., Vol. 1, Oxford: Elsevier Ltd. Moiruzzaman, Rahman, A., dan Ferdous, A., 2015, Evaluation of Sedative and Hipnotic Activity of Ethanolic Extract of Scoparia dulcis Linn., Bangladesh. Palatty, P.L., and Kumar, A., 2013, Comparative Action of Sedative Hypnotics on Neurophysiology of Sleep, Vol. 2(7), Sleep Disoders and Therapy. Rajasekhar, C.H., Kokila, B.N., Rakesh, Rajesh B., 2014, Potentiating Effect of Vetiveria zizanioides Root Extract and Essential Oil on Phenobarbital Induced Sedation-

Hypnosis in Swiss Albino Mice, Vol. 4(2), International Journal of Experimental Pharmacology. Rampalli, S.V.M., Gudepu, R., Rabbani, M.M., Janapathi, Y.K., 2013, Sedative and Hypnotic Activity of Bulbs of Allium cepa Linn., Vol. 4(12), International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. Sawadadkar, N.P., Todkari, P.R.,Cheke, R.S., Chaware, V.J., dan Biyani, K.R., 2015, Alpha Lipoic Acid Potentiate the Antiepileptic Activity of Phenobarbital in Epileptic Mice, Vol. 4(4), World Journal of Pharmaceutical Research. Setiawan, I., Evacuasiany, E., Suherman, J., 2012, Efek Hipnotik Ekstrak Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.) pada Mencit Swiss Webster Jantan yang Diinduksi Fenobarbital, Vol. 2(1), Jurnal Medika Planta. Smith, J. B., Mangkoewidjojo, S., 1988, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis, UI Press, Jakarta. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting:Kasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Turner, R.A., 1965, In: Screening Methods in Pharmacology, 1st Ed., Academic Press, NY dan London. Wiria, 2007, Hipnotik-sedatif dan alkohol. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran.